Pada hakikatnya tujuan pemerintah melakukan sertifikasi guru bertujuan agar guru bisa memperoleh tunjangan profesi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah menilai untuk bisa memajukan pendidikan adalah dengan meningkatkan kualifikasi dan kesejahteran para guru.
Perhatian pemerintah terhadap guru ini cukup kurang dan bisa dikatakan selalu dikesampingkan. Namun setelah disahkannya Undang-Undang tetantang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005, terutama dalam hal kesejahteraan, guru-guru di Indonesia telah mendapat perhatian serius dari pemerintah, berbagai tunjangan diberikan, baik itu melalui dana APBN, APBD Propinsi maupun APBD Kabupaten/kota.
Menurut lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen tersebut merupakan andil besar dari Persatuan Guru republik Indonesia (PGRI), perjuangan PGRI dilakukan pada masa kepemimpinan empat Presiden. “PGRI mengawalianya pada masa Presiden BJ Habibi, lalu dimasa KH Abdurrahman Wahid (Gusdur), Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Undang-Undang tersebut baru disahkan pada masa Presiden SBY-JK.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan langkah awal kebijakan peningkatan kualitas guru dengan keharusan memiliki kualifikasi Strata 1 atau Diploma 4. Pada pasal 10 ayat 1 diatur pula bahwa guru tidak hanya wajib memiliki kualifikasi akademik, tapi juga dituntut memiliki empat kompetensi. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
Dengan memiliki sertifikat profesi ini nantinya guru berhak mendapatkan tunjangan sebesar satu kali gaji pokok. Untuk itulah program ini digelar dalam bingkai uji sertifikasi. Kelak semua guru harus memiliki sertifikat sebagai lisensi atau izin mengajar. Namun, dalam pelaksanaan pemerintah menunjukkan ketidakprofesionalannya. Banyak celah yang menunjukkan kelemahan program uji sertifikasi yang hingga saat ini berlangsung, di antaranya mengenai ketentuan lulus atau tidaknya para guru yang mengikuti tahapan uji sertifikasi ini.
Apalagi persyaratan sertifikasi guru pada tahun 2009 ini banyak mengalami perubahan dibandingkan tahun sebelumnya. Perubahan itu di antaranya adalah guru yang berusia di atas 50 tahun meski belum memiliki kualifikasi S-1/D-4, guru yang sudah golongan 4-C dan guru yang sudah bergelar S-2 dengan minimal golongan 4-B mendapatkan layanan khusus. Mereka diprioritaskan untuk tidak mengatakan lulus secara otomatis atau hanya cukup menunggu giliran saja. Perubahan yang jika dicermati belum tentu akan lebih baik dari yang ada sebelumnya. Seharusnya, untuk mendapatkan sertifikat profesi pendidik, guru akan berujung pada dua kenyataan: antara lulus dan tidak lulus.
Kenyataan di lapangan, tidak ada kategori tidak lulus. Sebab, ujung-ujungnya semua guru tetap akan mendapat sertifikat profesi pendidik itu. Di sinilah letak konsepsi yang salah fatal dan yang harus segera diluruskan. Satu sisi pemerintah sudah menetapkan alat ukur kompetensi guru melalui portofolio. Sementara di sisi lain, peraturan yang dibuat juga sangat membuka peluang terjadinya pelemahan terhadap kualitas uji kompetensi pendidik tersebut.
Sebab dalam aturan tentang sertifikasi, bila portofolio yang disusun guru tidak memenuhi standar dan dinyatakan tidak lulus, ada peluang besar untuk lulus uji sertifikasi dengan mengikuti diklat profesi guru. Padahal, diklat profesi sendiri terhitung singkat dan teramat mudah. Seakan-akan hanya dalam waktu 30 jam diklat profesi dianggap cukup untuk melahirkan SDM tenaga pendidik yang kompeten dan profesional.
Pelaksanaan program sertifikasi guru perlu dibenahi supaya tidak merugikan hak-hak. Bukan hanya bagi para pendidik, namun yang lebih mengkhawatirkan adalah merugikan hak-hak peserta didik itu sendiri. Sehingga sekitar 2,7 juta guru di seluruh Indonesia benar-benar dapat menjadi guru profesional pada 2015 sebagaimana yang menjadi harapan bersama.
Program sertifikasi guru yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional ternyata tidak bisa maksimal hanya dengan uji sertifikasi seperti yang selama ini sedang berlangsung. Selain itu, ribuan tenaga pendidik yang telah dinyatakan lulus uji sertifikasi dibuat harus terus menunggu untuk mendapat giliran menerima Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) sebagaimana yang dijanjikan pemerintah sebelumnya.
Mengapa pemerintah pusat lebih mementingkan program sertifikasi, padahal di sekolah banyak pendidik dan tenaga kependidikan tidak terangkat PNS dari PP 48/2005 juncto PP 43/2007.
Jika demikian kenyataannya, bukankah lebih baik jika program sertifikasi guru dihentikan saja?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar